Langkah-langkah kenangan membingungkan

 

Langkah-langkah kenangan

Wahai para yang sengsara, aku ucapkan salam. Semoga dimanapun kalian berada di bawah langit di kolong jembatan atau di emperan jalan (jangan ketenah jalan yah, entar ketabrak). Jika keanehan hidup begitu senang mendekap mu, maka jangan kau bimbang atau gundah tinggal tidur lupakan sejenak bingung mu.

Yah kali ini ada lagi sesuatu ambigu tidak senang di tatap atau di lihat, tapi setidaknya ada sedikit pandangan hidup untuk kalian pikirkan di kepalamu, dari pada kepala kalian kosong tidak terisi yanng akhirnya membuat otak kalian menciut dan punah. Perbuhan zaman dari waktu ke waktu, menciptakan berbagai peristiwa dan kenangan termasuk kenangan mantan. Seperti sebuah artikel imajinasi tentang perubahan zaman

Jarot seorang paruh baya berumur tujuh puluh tiga tahun, usia yang cukup dan matang untuk di kubur di tanah. Di usia senjanya iya telah merasakan berbagai zaman dan hal-hal yang membuat setiap zamannya memberikan kesan dan ingatan yang membuatnya tertawa, tersenyum, menangis dan putus asa.

 Asam garam kehidupan sudah iya rasakan, bahkan manis gula kehidupan pernah iya cicipi walau sedikit, kala itu iya menjadi seorang yang beruntung dapat menikahi janda kaya yang membuat kehidupannya berubah total dari  hanya seorang lelaki kere menjadi seorang hedon bergelimang harta, namun manis gula kehidupannya hanya sesaat iya rasakan, karena semua harta yang iya punya harus kandas di sita aparat di karenakan iya menggunakan harta itu untuk membuka rumah bordir yang akhirnya di tutup oleh aparat dan segala harta kekayaanya di sita seiring terendus bahwa mantan suami istrinya dulu terlibat penggelapan pajak dan korupsi.

Di usia rentanya kini iya hidup dari menyemir sepatu, keahlian satu-satunya yang iya dapat kerjakan. Sedangkan istri yang iya nikahi dulu sudah lebih awal di kubur tanah, dan iya tidak mempunyai anak hasil dari pernikahannya.

Ketika pagi itu iya melangkah meninggalkan gubuk papan kayu bekas yang iya tempati di kolongan jembatan, yang sudah lebih dari sepuluh tahun iya tempati. Dengan menenteng tas kayu lusuh iya mengayunkan kaki rentanya menujun stasiun tempat dimana iya mangkal mencari manusia malas yang malas menyemir sepatu. Jarak untuk menuju stasiun tempat iya mangkal lumayan jauh, satu jam perjalanan, namun iya dengan terpaksa harus melakukan itu demi bahan bakar nyawa yang harus di isi dengan nasi. Ketika dalam perjalanan iya melewati sebuah bangunan tinggi perkotaan yang megah dan angkuh berdiri, terlintas ingatan kala iya masih muda bahwa di tempat berdiri gedung itu hanyalah sebuah tanah lapang tempat orang menggembala domba. Namun kini tanah lapang itu menjadi sebuah bangunan tinggi nan megah.

Kala melintas gedung itu, di sebuah halte bis iya melihat banyak manusia tertunduk seperti seseorang yang sedang membaca buku, namun yang di pegang itu bukanlah buku. Tapi sebuah benda berbentuk kotak yang asing bagi dirinya. Mereka duduk berdekatan namun seolah satu sama lain asyik dengan apa yang di lihat masing-masing, teringat kala masih muda, jika iya sedang menunggu bis di sebuah halte, iya akan berbincang dengan orang lain sekalipun tidak di kenalnya, biasa mereka menanyakan nama dan asal tempat tinggal. Sekalipun mereka sibuk membaca koran atau buku tapi tetap mereka masih perduli dengan orang yang di dekatnya. Namun kini seolah berbalik, betapa tidak mereka saling menunggu bis satu sama lain, dan mereka juga bernyawa namun seolah mereka hidup sendiri tanpa manusia di kanan kiri.

Kini kaki rentan Jarot melewati kantor polisi, kembali datang ingatan dan kenangan dulu tentang tempat itu. Iya mengingat bahwa iya pernah hampir di penjarakan karena memperkerjakan anak di bawah umur di tempat bordirnya dulu, namun dingin lantai bui tidak sampai mendekapnya, di karenakan iya memberi sejumlah uang kepada salah satu pimpinan polisi untuk membebaskannya, dan pada waktu itu iya berhasil selamat dari kandang hewan itu. Tapi iya tidak menganggap kantor polisi itu berubah, hanya bangunan saja yang berubah sikap dan prilaku manusia nya tetap tidak berubah masih kucing garong dan lintah pengisap tutur gerutu hatinya. Dan akhirnya setelah beberapa kali iya lolos dari bui namun akhirnya iya merasakan juga, di karenakan pimpinan polisi yang sering menyelamtkannya meninggal dunia terlindas truk pupuk kotoran hewan, sungguh cara kematian yang nanar dan menyedihkan.

Di pertigaan jalan, Jarot memalingkan wajah ke sebuah hotel yang masih tetap berdiri sejak iya masih muda, kembali lagi ingatan akan segala kejadian yang pernah iya rasakan seolah terulang. Iya mengingat peristiwa di hotel itu, kala iya mengantarkan salah satu wanita pegawai di tempat bordirnya untuk melayani salah seorang anggota dewan yang tajir melintir, sebenarnya yang memesan wanita dari rumah bordirnya bukanlah anggota dewan itu, tapi seorang direktur tambang batu bara. Yang baru iya tahu wanita pekerjanya di jadikan alat pelicin agar tambang batu baranya mendapat ijin dari anggota dean itu. “sial ngaku anggota dewan terhormat, tapi doyan wanita kotor” gerutu dalam hatinya, dan yang membuat iya sedikit parno kala mengingat kejadian itu iyalah, saat wanita pekerjanya harus melayani tiga orang sekaligus, ada ingatan yang membuatnya sedikit tertawa, saat wanita itu telah selesai iya melihat jalan wanita pekerjanya berjalan dengan menjinjit kakinya dan tidak bisa merapatkan kedua kakinya. “sial itu anggota dewan, pekerja ku sampai tidak bisa berjalan normal”.

Beberap menit lagi iya sampai di tempat iya mengadu nasib, iya menyempatkan untuk mengisi perut di warteg langganan yang bisa iya hutang. Menu biasa yang iya pesan tempe dan telor goreng, namun sayang salah satu lauk tidak bisa iya santap dengan lengkap, pelayan warteg mengatakan bahwa sekarang tempe dan tahu sulit di dapat, di karenakan bahan baku kacang kedelai mahal dan susah. Sedikit berpikir sejenak dan mengingat, seingatnya pada saat krisis moneter dulu dimana segala susah, tahu atau tempe begitu mudah di dapat bahkan menjadi makanan rutin selama krisis moneter dulu. Lalu iya berasumsi bahwa tanah di negara ini sudah tidak subur, sampai tidak bisa menanam kacang kedelai, atau mungkin petani di negara ini memilih menjadi pegawai pabrik, di jajah tenaganya oleh perusahaan asing, atau tanah petani kedelai di gadaikan atau di jual kepada orang asing lalu berdirilah pabrik di kebun kedelai itu. sekejam-kejamnya rezim terdahulu iya masih bisa makan tahu tempe, tapi sekarang di zaman rezim ini yang ngakunya bahwa ekonomi akan meroket tidak bisa menghadirkan tempe dan tahu di meja-meja makan orang miskin.

Akhirnya setelah tenaga sedikit terisi, jarot melanjutkan perjalanannya. Dengan sedikit dongkol di hati karena tidak dapat memakan menu biasa yang selalu iya makan. Maka kembali iya berjalan masih tetap dengan hati menggerutu, bagaimana negara mau menghadirkan kehidupan layak, sebatas menyediakan kacang kedelai saja belingsatan.

Sedikit dari apa yang saya persembahkan, walau tidak bermanfaat setidaknya artikel saya nongkrong di beranda anda. Ijin pamit mau mulung dulu, jika ada hal yang ingin di tanyakan silakan kirim surat lewat kantor pos.

إرسال تعليق

7 تعليقات